PersadaPos, Semarang – Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jateng mencatat, ada 6.421 kasus demam berdarah dengue (DBD) di wilayahnya dengan korban meninggal 158 orang, yang terjadi mulai awal Januari hingga Mei 2024.
Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Jateng, Irma Makiah menyebutkan, kasus DBD tertinggi berasal dari Kabupaten Klaten, yang tercatat 512 kasus DBD dengan korban meninggal 25 orang.
”Data tersebut merupakan temuan sepanjang Januari hingga awal Mei 2024, sedang kasus DBD paling tinggi terjadi pada pekan ke-12 pada bulan April,” jelas Irma kepada wartawan, jumat, 24 Mei 2024.
Sementara itu Kabid P2P melalui Sub Kordinator Penyakit Menular dan Tak Menular, Heri Purnomo mengatakan, penyebab kasus DBD pada bulan April tertinggi, karena terjadi perubahan iklim dari musim hujan ke kemarau.
Heri mengatakan, Dinkes Jateng juga mencatat kasus DBD yan cukup banyak terjadi di Kabupaten Banyumas yang total ada 489 kasus DBD, dan Grobogan ada ada 466 kasus DBD.
Menurut Heri, Kabupaten Klaten juga menjadi daerah dengan jumlah korban meninggal dunia terbanyak akibat DBD, yaitu 25 orang.
Disebutkan, jumlah kematian tertinggi kedua di Kabupaten Jepara dengan 21 orang, disusul Kendal dengan 18 orang.
Ia mengatakan, bila berkaca dari lima tahun ke belakang, kasus DBD di Jawa Tengah pada tahun ini cenderung mengalami kenaikan.
”Terlihat dari awalnya pada 2020 yang di angka 5.678 kasus, kemudian turun menjadi 4.468 kasus pada 2021, mendadak meroket pada 2022 atau mencapai 12.476 kasus,” terangnya.
Kendati meroket signifikan, katanya lagi, pada 2023 kasus DBD mengalami penurun kembali di angka 6.308 kasus.
Namun, sambungnya, pada 2024 cut off awal Mei ini, kasus sudah kembali melonjak di angka 6.421 kasus atau melebih total kasus sepanjang 2023 itu.
Heri mengungkapkan, ada banyak faktor yang menjadi penyebab lonjakan kasus DBD di Jateng, antara lain perubahan iklim, Gerakan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) yang cenderung stagnan.
Selain itu, tambahnya, fogging tidak sesuai indikasi, keterbatasan logistik, kurangnya edukasi ke masyarakat, hingga penanganan atau diagnosis yang terlambat.
”Oleh karena itu, tindak lanjut kami adalah survailens ketat saat ini. Kemudian setiap kasus dilakukan penyelidikan epidemiologi 1×24 jam setelah diagnosis tegak, fogging sesuai indikasi dan evaluasi terus secara menyeluruh,” pungkasnya. (pras)