Nur Hidayat Sardini (NHS)
PersadaPos, Semarang – Demokrasi Indonesia saat ini berada pada level yang sangat memprihatinkan. Kondisi ini mengkonfirmasi kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsinya.
Pernyataan ini disampaikan Nur Hidayat Sardini (NHS) dalam perbincangan ringan dengan Persadapos.com, belum lama ini.
Dalam pandangan NHS, kondisi pasca- Pileg dan Pilpres hingga pra- Pilkada serentak 2024, merupakan klimaks keruntuhan demokrasi di Indonesia.
Betapa tidak, event Pilkada yang semestinya menjadi pembelajaran politik bagi semua kalangan, tahun 2024 ini tidak terdengar gaungnya.
Padahal menurutnya, semestinya kita, termasuk partai-partai politik, dalam berpolitik harus naik kelas. Namun kenyataannya, malah turun kelas.
“ Pencalonan itu adalah hal yang sangat elementer, mendasar sekali. Tetapi dalam hal ini partai politik juga tidak bisa menunjukkan kelasnya yang semakin tinggi, bahkan ada kecenderungan menurun,”pungkasnya.
Politik Dinasti
Ketua Bawaslu RI pertama (2008-2011) itu lalu mereview pilkada-pilkada mulai awal hingga saat ini.
Pilkada tahun 2005 disebutnya sangat menggairahkan. Perdebatan-perdebatan sangat menarik, karena Parpol-parpol bersemangat berlomba-lomba mengajukan kader-kader terbaiknya.
Gairah itu masih berlanjut pada pilkada-pilkada periode berikutnya. Parpol-parpol ada upaya membangun koalisi dengan mengedepankan tokoh-tokoh yang dipandang mempertemukan semua kalangan. Masih tampak bergairah.
“Bahkan tahun 2018-2020, gairah itu masih ada meski memang agak terkendala oleh pademi covid,” tegasnya.
Sekarang, lanjut NHS, pilkada itu memperoleh tantangan yang sangat kuat, yaitu masa-masa otoritarianisme, masa deinstitusi yang sangat menurunkan kualitas demokrasi kita.
Hari ini kalau kita amati, calon yang tidak jelas latar belakangnya tiba-tiba ditawarkan ke suatu daerah dan karena tidak laku di daerah tersebut ganti ditawarkan ke daerah lain. Begitu seterusnya berputar.
Nama-nama tertentu hanya karena kedekatan dengan anak petinggi negeri ditawarkan ke sana kemari. “Itu yang saya maksud kualitas demokrasi kita melorot,” tegas Ketua Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip itu.
Hal ini pengaruh dari dua hal. Pertama efek terdekat suasana atau alam pileg 2024. Kedua, dinamika masa depan politik dinasti Jokowi.
Hal tersebut membuat pilkada 2024 ini sangat tidak menggairahkan.
Partai-partai politik absen dalam melaksanakan fungsi-fungsi politiknya. Ironis, provinsi sebesar Jawa Tengah sepi dari perdebatan-perdebatan tentang calon yang mencerahkan.
Saat ini tidak ada pandangan tokoh-tokoh, terkecuali satu-dua tokoh, yang itupun tidak jelas latar belakang dan kiprahnya dalam partai politik.
Faktor penyebab ketidakgairahan partai-partai politik itu menurut NHS antara lain:
Pertama, kondisi politik saat ini belum keluar dari suasana kebatinan Pilpres 2024.
Arus sedang berkembang untuk melestarikan sekondan pengusung antarpaslon. Dengan komposisi hanya sedikit saja berubah, tetapi pada intinya arus yang mengutamakan terhadap kepentingan dinasti. Ekornya masih terasa sekarang ketika menghadapi pilkada 2024.
Kedua, kondisi ini ditunjang oleh absensinya fungsi-fungsi politik parpol, terutama fungsi sebagaimana diamanatkan undang-undang mengenai disfungsionalitas rekrutmen oleh partai politik.
Pewacanaan dalam pilkada ini hampir tidak menyerentakkan cara pandang yang sama di antara elit-elit partai politik. Alih-alih pada level yang mencerdaskan, apalagi dalam tingkat grassroot, elit di level provinsi dan kabupaten/kota saja memang tidak memperoleh tempat.
“Inilah kegagalan desentralisasi politik, karena salah satu tujuan dari pilkada itu adalah desentralisasi politik,”tuturnya.
Ketiga, kita sedang mengalami deinstitusi demokrasi. Lembaga-lembaga negara sebagian diantaranya merosot perannya, dan sebagian menilai tidak lagi se- kredibel pada masa-masa lalu. Pada masa bersamaan pemilih juga mengalami deraan kapasitas politiknya.
“Masalah ini sebetulnya sudah lama, tetapi semakin terkonfirmasi saat pasca-pilpres dan pra-pilkada 2024 ini,”ujar penulis beberapa buku tentang pemilu itu.
Kondisi ini akan makin menyulitkan posisi pemilih. Kecuali pemilih sekadar objek politik dari mereka yang punya kuasa dan punya banyak uang.
“Buat saya ini masa suram demokrasi kita,” tutupnya. (Lind)