PersadaPos, Semarang – Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Provinsi Jawa Tengah (Jateng), mencatat dampak kekeringan lahan pertanian, akibat musim kemarau di sejumlah kabupaten/kota mulai bermunculan.
Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Distanbun Jateng, Francisca Herawati, mengatakan, daerah yang mulai terdampak, di antaranya Pantura bagian timur dan Solo Raya.
”Di Pantura timur, dampaknya sudah sampai pada puso atau gagal panen. Sedang di Solo Raya, masih sebatas terkena atau mulai muncul gejala kekeringan,” jelas Herawati kepada wartawan, Sabtu, 25 Mei 2024.
Ia menyebutkan, daerah yang mengalami puso dan gejala kekeringan di Pantura timur, yaitu Blora, Rembang dan Pati, sedang di Solo Raya yang mengalami gejala kekeringan, Klaten, Wonogiri dan Sragen.
Distanbun Jateng juga mencatat, total luas lahan yang gagal panen per 25 Mei 2024 ini mencapai 137,2 hektar, sedang luasan lahan yang terkena dampak kemarau seluas 10.724,3 hektare.
”Rincian data lahan puso dan gejala kekeringan per kabupaten/kota masih bergerak, karena kalau data tertulis belum kami terima,” ungkap Herawati.
Hanya saja, katanya, informasi dari petugas di lapangan sudah ada gejala kekeringan, lantaran yang utama sudah ada sumber air, tapi tidak ada pompanya.
Selain itu, sambungnya, laporan dari sejumlah daerah yang terdampak, mayoritas karena sumber air permukaan untuk pengairan sawah petani mulai mengering.
Seperti di Pati, kata Herawati, pihaknya menerima laporan, warga harus menggunakan bantuan alat mesin pertanian (alsintan) berupa pompa untuk bisa menyuplai air ke lahan pertanian.
”Yang terkena puso nanti kita monitor, kalau kekeringan kita carikan bantuan benih di musim tanam yang akan datang,” imbuhnya.
Menurut dia, untuk mengatasinya, pemerintah daerah (pemda) bersama instansi lain seperti TNI/Polri juga sudah meminjamkan pompa air untuk menyuplai kebutuhan air untuk produktivitas tanaman padi.
”Pusat (Kementerian Pertanian) rencananya juga akan memberi bantuan untuk solusi kekeringan, mungkin bantuan untuk suplai air,” pungkas Herawati.
Seperti diketahui, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengatakan, musim kemarau tahun ini terjadi secara bertahap sejak Maret 2024.
Bahkan, kata Dwikorita, puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada Juli atau Agustus 2024.
Menurut dia, dampak kekeringan akibat kemarau, lebih rentan terjadi di pulau-pulau kecil pada puncaknya di Juli-Agustus 2024.
Oleh karena itu, Dwikorita menekankan kepada kewaspadaan terhadap risiko yang terjadi seperti kekurangan pasokan air dan kebakaran hutan. (pras)