PersadaPos, Banjarnegara – Petani salak di Banjarnegara bersedih lantaran harganya anjlok, se-kilogram buah salak cuma dihargai Rp 500.
Anjloknya harga salak itu, membuat para petani enggan memetik buah salak yang siap dipanen. Mereka malah membiarkan salaknya membusuk di pohon.
Hal itu ini diakui salah satu petani salak, Noto Wiyono, asal Desa Talunamba, Kecamatan Madukara, Banjarnegara, yang mengatakan, akibat harga salak anjlok justru akan menambah biaya jika harus dipanen.
”Harga salak itu sampai Rp 500 per kilo. Kalau dipanen kan ada biaya panen, dan biaya angkut.
Makanya, beberapa petani memilih tidak memanen tanaman salaknya. Dibiarkan membusuk di pohon,” ungkap Noto kepada wartawan di kebun salak miliknya, Selasa, 2 April 2024.
Ia menyebutkan, untuk biaya perawatan tanaman salak miliknya memerlukan pupuk yang cukup banyak.
Tak heran, Noto pun berharap, harga salak bisa kembali normal seperti sebelumnya, harganya antara Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu per kilogram.
”Kalau harganya Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu per kilo ini terhitung cukup, termasuk untuk biaya perawatan dan panen. Kalau sekarang tidak cukup, apalagi sekarang beras mahal,” katanya.
Sementara itu terpisah, Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banjarnegara, Firman mengatakan, harga salak turun ketika terjadi panen raya buah lain.
Mengapa? Katanya, buah salak kerap menjadi buah pilihan terakhir.
”Sebenarnya salak ini kan bukan buah meja dan selalu menjadi pilihan terakhir. Jadi kalau sedang ada panen raya buah lain, harganya jadi turun. Ini sudah menjadi siklus,” terang Firman.
Namun, kata Firman, salak mempunyai kelebihan yakni selalu berbuah sepanjang tahun. Sehingga, nantinya saat buah lain tidak lagi panen raya, harga salak akan kembali normal.
”Kalau nanti sudah tidak ada buah lain, harga salak akan pulih lagi, karena memang sekarang salak sulit bersaing,” jelasnya.
Firman pun menjelaskan, ada perbedaan jenis salak di Banjarnegara yang ditanam di wilayah bagian atas.
Menurut dia, salak yang ditanam di wilayah bagian atas dengan kondisi udara lebih lembap, buahnya berusia lebih muda sehingga lebih besar dan memiliki nilai jual lebih tinggi.
”Sebaliknya kalau salak ditanam di daerah bawah, usia tanamannya sudah tua,” imbuhnya.
Ia mengatakan, saat ini beberapa daerah sentra salak sudah beralih ke tanaman lain, seperti durian dan alpukat, mengingat olahan salak sulit dilakukan karena biaya produksi cukup tinggi.
”Seperti di Kecamatan Sigaluh, petani salak sudah banyak yang beralih ke durian dan alpukat. Sekarang petani salak tinggal Madukara dan Banjarmangu,
karena kalau diolah menjadi keripik salak atau dodol salak biaya produksi tinggi. Dan, hasilnya kurang bersaing,” tutupnya. (pras)