Agus Sudibyo ketika menyampaikan materi tentang AI. (Foto:Dok)
PersadaPos, Semarang – Pernahkah seorang wartawan tidak punya berita? Jika iya, maka sungguh malang, karena itu berarti dia tak bisa bagaimana caranya mendapatkan data, mengolah data, hingga menganalisis data. Betapa penting sebuah data untuk membuat berita.
Begitulah intro yang disampaikan wartawan senior Zarman Syah ketika memberikan mata ajar Data Jurnalisme dalam Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) yang digelar PWI Pusat dan Kemendikbudristek di hotel New Puri Garden, Semarang, Jumat 28 Juni 2024.
‘’Data tak selalu diartikan angka atau numerik, tapi resep dokter juga merupakan data. Datalah yang akan membantu wartawan menghadapi jurnalis warga di media sosial,’’ kata Zarman.
Meskipun begitu, dia mengingatkan agar wartawan berhati-hati dengan data, karena bisa jadi masing-masing daerah berbeda. Itulah sebabnya tugas wartawan adalah memvalidasi, mengonfrontasi dan memverifikasi data. Caranya, tentu saja melibatkan pihak lain seperti scientist dari kampus atau lembaga riset misalnya.
Dia mengistilahkan data sebagai tambang mineral bisa emas, minyak, nikel. Artinya, data itu butuh diolah, diasah dan dibersihkan.
Zarman juga mendorong agar jangan menelan mentah-mentah data yang bisa disampaikan sebuah sumber. Harus dikroscek, sehingga menghindarkan wartawan sebagai Public Relations atau humas.
‘’Data untuk sebuah berita harus disikapi dengan kritis jangan langsung di-emplok (telan). Data mendorong wartawan untuk kritis. Menyajikan berita bukan hanya soal critical thinking, tapi juga soal integritas, multitasking dan wawasan kebangsaan,’’ ujar mantan wartawan Jawa Pos itu.
Sementara itu, pengajar lainnya adalah Adek Media Roza yang mengajarkan materi Visualisasi dan Infografik. Menurut dia, di tengah tren jurnalisme data, infografik itu memang punya peran kunci karena membantu masyarakat cepat mendapatkan data dari sebuah berita secara menarik.
Harus Berlogika
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh wartawan ketika membuat infografik. Yaitu data yang valid dan logis, pola, dan visual.
’’Visual harus diperhatikan komposisi foto supaya, tak mengganggu mata. Misalnya warnanya merah, tulisannya pink, waduh itu pusing lihatnya apalagi dengan font yang susah dibaca,’’ tambahnya.
Pada kesempatan itu, Adek juga memberikan pengetahuan soal kalimat-kalimat yang ringkas dan efisien dalam sebuah berita.
Pada sesi terakhir diisi Artificial Intelligence (AI) Journalism oleh Agus Sudibyo. Menurutnya, AI bisa dianggap Frenemes (friend and enemy). AI bukan hanya berkah tapi juga jadi persoalan. Jika semua pekerjaan sudah bisa dikerjakan oleh teknologi, kita kerja apa?
Dijelaskannya, saat ini orang hidup dalam lingkaran sistem digitalisasi. Dalam kondisi tertentu AI bisa membantu, namun AI juga bisa menjadi masalah. Contoh ketika AI digunakan untuk membuat berita bohong (hoax).
AI sendiri merupakan subsistem dalam gugus ilmu komputasi yang berfokus menciptakan agen cerdas yang mampu menjalankan fungsi yang sebelumnya hanya bisa dilakukan manusia dengan kecerdasan manusianya.
AI juga memberikan dampak pada jurnalisme dan terdapat beberapa persoalan. Contoh ketika fenomena media online muncul di Indonesia, itu ada beberapa yang melanggar kaidah-kaidah jurnalistik diantaranya berita dengan hanya satu narasumber, yang seharusnya media mengedepankan keberimbangan. Meskipun beberapa alasan pembenaran diantaranya adalah konfirmasi pada berita selanjutnya.
‘’Wartawan harus memiliki perspektif kritis tentang AI. Secara tidak sadar setiap hari kita memasok data dengan berita dan konten untuk dipelajari mesin-mesin platform digital,’’ bebernya.
Jika media kita menggunakan AI, pastikan kita memiliki kemampuan untuk menonaktifkan setiap saat. Selain itu dibutuhkan evaluasi agar menghormati prinsip etika jurnalistik, perlindungan privasi, hak intelektual dan menaati hukum perlindungan data. (Lind)