Suwardi, SSos,SH
PersadaPos, Semarang – Ketua Posbakum Indonesia LPHI, Suwardi SSos,SH menyayangkan langkah Polda Jabar yang meralat Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam kasus pembunuhan Vina dari semula tiga orang menjadi satu orang.
“Sangat tidak masuk akal. Koq semudah itu Polda menghapus dua orang yang sudah diumumkan sebagai DPO,” kata Suwardi yang ditemui PersadaPos di Semarang, Selasa 4 Juni 2024.
Sebagaimana diketahui, Polda Jabar mengumumkan bahwa jumlah DPO dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky hanya satu orang, yaitu Pegi Setiawan alias Perong. Sedangkan dua nama yang tercantum sebelumnya yaitu Dani dan Andi adalah fiktik atau tidak ada.
Munculnya tiga nama dan dijadikan DPO adalah berdasarkan fakta dalam persidangan. Fakta tersebut kemudian termuat dalam putusan PN Cirebon yang memeriksa dan mengadili perkara a quo. Bahwa ada 11 orang pelaku, delapan telah dijatuhi hukuman dan tiga orang belum bisa diadili dan menjadi tugas kepolisian untuk mencarinya.
Jaksa menuntut hukuman mati untuk tujuh terdakwa dan oleh hakim divonis penjara seumur hidup. Sedang seorang lagi yaitu Saka Tatal yang ketika itu masih tergolong anak (di bawah umur) dijatuhi penjara delapan (8) tahun.
Hampir delapan tahun kepolisian belum berhasil menghadirkan tiga orang DPO. Baru setelah kasus ini viral seiring pemutaran film berjudul “Vina: Sebelum 7 Hari” Polda Jabar menangkap Pegi Setiawan alias Perong yang menurut polisi adalah orang yang tercatat dalam DPO.
Seusai Konferensi Pers perihal penangkapan itu, Pegi Setiawan alias Perong menyangkal keterlibatan dirinya dalam pembunuhan dan pemerkosaan sadis itu.
Pegi dengan tegas mengatakan bahwa bukan dia pelaku pembunuhan tersebut. Dia mengatakan tidak terlibat dengan alibi, ketika terjadi pembunuhan, dirinya tidak berada di Cirebon, tetapi sedang kerja di Bandung.
Pernyataan Pegi ini menimbulkan pertanyaan dan kekurangpercayaan kepada pihak kepolisian. Banyak masyarakat khususnya netizen yang meragukan Pegi sebagai pelaku utama dalam pembunuhan tersebut.
Kekecewaan masyarakat kian mendalam manakala Polda Jabar juga mengumumkan bahwa tidak ada lagi tersangka selain Pegi. Dua nama lain dalam DPO oleh Polda Jabar dinyatakan fiktif atau tidak ada.
Tidak Masuk Akal
Suwardi juga mempertanyakan penghapusan dua nama dalam DPO itu. Apalagi dengan pernyataan pihak polisi bahwa dua nama tersebut adalah fiktif atau tidak ada.
“Terasa lucu. Tidak bisa diterima nalar, DPO koq fiktif,” ujarnya.
Lebih lanjut Suwardi menguraikan bahwa untuk menempatkan seseorang dalam DPO tidaklah sembarangan. SOP atau prosedurnya jelas.
“Identitas orang yang dicari harus jelas. Nama, umur, alamat sampai ke ciri-cirinya disebutkan,” urai Suwardi.
Selain itu, tambah Ketua Posbakum Indonesia tersebut, juga diurai dugaan perbuatan kejahatan (pidana) yang dilakukan, sehingga dicari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
“Sedemikian detail datanya. Koq dikatakan tidak ada atau fiktif. Di mana nalarnya,” tanya Suwardi.
Harus Tuntas
Menurut Suwardi, pernyataan Polda Jabar mengesankan, pihak kepolisian ingin segera menutup perkara ini. Tak ingin direpotkan lagi dengan perkara yang sudah berjalan delapan tahun tersebut.
“Ingin segera case closs dan tak mau tahu dengan dua DPO lain yang belum tertangkap,” ujarnya menduga-duga.
Suwardi berharap kepolisian tidak lari dari tanggung jawab dengan membiarkan masyarakat mengubur keingintahuan siapa sebenarnya otak dari kejahatan bengis ini.
“Selesaikan kasus ini sampai tuntas setuntas-tuntasnya. Masyarakat butuh kebenaran dan keadilan,” harapnya.
Jika gagal menuntaskan perkara yang sangat menyita perhatian tersebut, Suwardi khawatir, kepercayaan masyarakat kepada polisi semakin berkurang, bahkan terkikis sampai tidak percaya sama sekali.
Bohongi Publik?
Jika pihak Polda Jabar bersikukuh bahwa dua nama yang tercantum dalam DPO itu adalah fiktif, bisa menimbulkan efek yang merusak citra penegak hukum dan pengadilan. Dampaknya akan sangat luas.
Para penegak hukum yang terlibat dalam perkara a quo termasuk PN Cirebon dan terkhusus majelis hakim yang memeriksa dan mengadili layak diduga telah melakukan pembohongan publik.
Bisa menimbulkan persepsi masyarakat bahwa Ketua Majelis Hakim dan dua anggota menjatuhkan pidana seumur hidup para tujuh terdakwa berdasarkan bukti dan keterangan fiktif?
“Sebab dalam putusan PN Cirebon tersebut tegas menyebutkan ada tiga yang diduga pelaku masih dalam pencarian,” tegas Suwardi.
“Yang membuat dan menyebarkan DPO itu juga bisa dituntut menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keresahan di masyarakat,” ungkapnya. (Lind)